Senin, 31 Januari 2011

LAMANDAU NANGA BULIK

Inilah sekilas tentang daerah ane yang kaya akan sumber daya alamnya..
Kabupaten Lamandau adalah kabupaten dari hasil pemekaran wilayah kabupaten Kotawaringin Barat, berdasarkan UU nomor 5 Tahun 2002. Melalui proses yang sangat panjang dan rumit, serta kerjasama banyak pihak sehingga KabupatenLamandau bisa terbentuk dan berjalan sampai hari ini.

A. KECAMATAN NANGA BULIK SEBELUM ERA KEMERDEKAAN
Pada awalnya yaitu pada tahun 1918, Nanga Bulik hanya dihuni oleh 10 kepala keluarga yang menempati 6 buah rumah yang masih merupakan sebuah dukuh/dusun yang sangat kecil, sedangkan pemberian nama Nanga Bulik karena dukuh atau tempat pemukiman sekelompok masyarakat itu berada di muara/nanga sunga bulik. Dukuh Nanga Bulik tersebut adalah pedukuhan masyarakat dari kerajaan Kotawaringin yang termasuk wilayah Raja Kotawaringin yang bernama Sultan Balaluddin.

Melihat letak geografisnya yang sangat strategis serta sumber daya alamnya yang sangat berlimpah, maka pemerintahan Belanda serta Kesultanan Kotawaringin menganggap perlu menempatkan seorang perwakilan kerjaan yang pada waktu itu dipercayakan kepada salah seorang pangeran yaitu Pangeran Jangkang untuk mengendalikan tata kehidupan masyarakat sebagai seorang pasedor atau setingkat pembantu camat, dengan wilayah kekuasaaan meliputi desa-desa yang berada di DAS Lamandau, Bulik, Menthobi, Palikodan, Belantikan, Delang dan Batangkawa atau yang kita kenal dengan kecamatan Bulik, Lamandau dan Delang.

Penempatan seorang pasedor di Nanga Bulik oleh pemerintah Belanda dan Kesultanan Kotawaringin didasari oleh beberapa pertimbangan sebagai berikut:
1. Nanga Bulik merupakan titik sentral yang bisa dijangkau baik melalui jalur sungai maupun jalur darat dari desa-desa di sekitarnya dan merupakan pinTu gerbang perekonomian masyarakat dari DAS Lamandau, Bulik, Menthobi, Palikodan, Belantikan, Delang dan Batangkawa.
2. Posisi Nanga Bulik sangat strategis serta didukung oleh berbagai sumber daya alam yang berlimpah baik hasil hutan, perkebunan, peternakan, pertambangan serta flora dan fauna yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber kehidupan dan kesejahteraan masyarakat dari ketujuh DAS yang berada di wilayah pasedor Nanga Bulik tersebut.
3. Eratnya ikatan sejarah dan tali persaudaraan yang dapat dilihat dari asal-usul dan adat istiadat yang serumpun, hal ini merupakan modal dasar rasa kebersamaan yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari sejarah peradaban manusia, khususnya sejarah peradaban masyarakat pedalaman Bulik, Lamandau dan Delang (BULANG).
4. Untuk lebih mempermudah serta mendekatkan jangkauan pelayanan pemerintah kerajaan Kotawaringin kepada masyarakat pedalaman saat itu.

Memperhatikan prospek yang cukup menjanjikan untuk kemajuan suatu daerah, atas pertimbangan dari pemerintah Belanda, maka pada tahun 1920, pemerintahan kerajaan Kotawaringin meningkatkan Nanga Bulik yang semula diduduki oleh seorang pasedor menjadi wilayah ONDER DISTRIK (sekarang setingkat kecamatan) dengan onder ERENS SANDAN sebagai onder pertama kemudian Onder MARTIN ASSAN sebagai onder kedua selanjutnya Onder SAMAN sebagai Onder ketiga dan Onder GUSTI HAMIDAN sebagai Onder keempat (Onder terakhir).

Selanjutnya pada tahun 1939, istilah onder Distrik Nanga Bulik dirubah menjadi Kecamatan Nanga Bulik dengan wilayah yang sama dengan Wilayah Onder Distrik dan merupakan satu-satunya kecamatan yang ada di Kotawaringin pada saat itu. Kecamatan Nanga Bulik pada waktu itu dipimpin oleh seorang Camat yang merupakan putra terbaik Kecamatan Nanga Bulik kelahiran Kudangan bernama PANGARUH dan oleh raja Kotawaringin atas jasa dan ketokohan beliau diberi gelar MAS KAYA PATINGGI AGUNG MANGKU ARAI atau lebih popular dengan panggilan CAMAT MASKAYA. Kepemimpinan MASKAYA PANGARUH telah menghantarkan Kecamtan Nanga Bulik sampai kepada alam kemerdekaan yaitu sampai dengan tahun 1952.

B. KECAMATAN NANGA BULIK PADA ERA KEMERDEKAAN
1. Era orde Lama
Setelah bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaannya, sudah barang tentu banyak persoalan yang harus dijawab, banyak tantangan yang harus diselesaikan terutama dalam rangka menyusun tatanan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, dengan berbagai kajian perubahan demi perubahan terus dilakukan, perbaikan demi perbaikan terus dijalankan sampai berbagai daerah-daerah. Sehingga pada tahun 1952 Kewedanaan Pangkalan Bun (dulu Kesultanan Kotawaringin) menata kembali Tata Pemerintahan dan Kemasyarakatan di wilayah kewedanaan Pangkalan Bun yaitu dengan membentuk 4 (empat) buah kecamatan, yaitu:
a. Kecamatan Kotawaringin Barat dengan ibukotanya Sukamara
b. Kecamatan Kotawaringin Selatan dengan ibukotanya Pangkalan Bun
c. Kecamatan Kotawaringin Utara dengan ibukotanya Tapin Bini
d. Kecamtan Kotawaringin Timur dengan ibukotanya Nanga Bulik

Kemudian pada tahun 1960 Kewedanaan Pangkalan Bun dimekarkan menjadi Daerah Swatentra Tingkat II dengan nama Kabupaten Kotawaringin Barat dan seiring dengan itu pula maka masing-masing kecamatan yaitu Kecamatan Kotawaringin Barat dimekarkan menjadi Kewedanaan Sukamara, Kecamatan Kotawaringin Selatan menjadi kewedanaan Pangkalan Bun.

Sedangkan Kotawaringin Utara dan Kecamatan Kotawaringin Timur dimekarkan atau digabung menjadi kewedanan Nanga Bulik yang meliputi wilayah desa-desa di sepanjang DAS Lamandau, Bulik, Menthobi, Palikodan, Belantikan, Delang dan Batangkawa bahkan termasuk Desa Kenawan dan Laman baru (sekarang masuk wilayah Kecamatan Balai Riam Kabupaten Sukamara).

Sedangkan yang ditunjuk sebagai Wesana pertama adalah Bapak. AKHMAD SAID, kemudian digantikan oleh Bapak Y.M.NAHAN sebagai Wedana yang kedua/terakhir. Adapun Kewedanaan Nanga Bulik (bukan Kewedanaan Bulik) berakhir pada tahun 1965 dan kembali menjadi wilayah Kecamatan Bulik.

2. Era Orde Baru
Pada era Orde Baru Pemerintah Indonesia kembali melakukan penataan terhadap tata pemerintahan dan kemasyarakatan, hal itu ditandai dengan terbitnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, sehingga pada saat itu pula daerah-daerah eks Kewedanaan ditingkatkan menjadi Wilayah Administratif (Pembantu Bupati). Hal ini bagi masyarakat Kecamatan Bulik, Lamandau dan Delang yang merupakan Eks wilayah Kewedanaan Nanga Bulik adalah merupakan harapan yang sangat menggembirakan. Namun pada masa Orde Baru harapan itu ternyata hanya sekedar angan yang harus berakhir diujung mimpi, karena kawedanan Nanga Bulik tidak dijadikan sebagai Wilayah Pembantu Bupati.

3. Era Reformasi
Sebagai jawaban atas semua tuntutan kebutuhan masyarakat akan adanya perubahan dan peningkatan pelayanan Pemerintahan kepada masyarakat serta seiring dengan semangat Reformasi, maka pada saat pemerintahan Presiden BJ. Habibie telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang salah satu Diktumnya mengatur tentang pemekaran suatu daerah. Hal ini khususnya bagi masyarakat pedalaman Bulik, Lamandau dan Delang (Eks Kewedanaan Nanga Bulik) merupakan harapan baru dan setelah melalui penantian yang panjang, atas Rahmat Tuhan Yang Maha Esa serta berkat perjuangan seluruh tokoh dan komponen masyarakat pedalaman Bulik, Lamandau dan Delang baik yang ada di daerah maupun yang berada di perantauan harapan itu akhirnya menjadi kenyataan.
demikianlah yg bisa ane sampaikan.semoga bermanfaat..amin
untuk sejarah lamandau lebih jelasnya udah d jelaskan d postingan ane yg per 1 n lihat
www.lamandau.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar